Ribuan artefak budaya Indonesia telah dicuri oleh pihak asing,
seperti: Batik Adidas, Sambal Balido, Tempe, Lakon Ilagaligo, Ukiran
Jepara, Kopi Toraja, Kopi Aceh, Reog Ponorogo, Lagu Rasa Sayang
Sayange, dan lain sebagainya. Fenomena ini tidak hanya terjadi di
Indonesia, ia juga terdapat di banyak Negara berkembang lainnya. Untuk
itu, WIPO (World Intellectual Property Organization) , lembaga
Intellectual Property internasional, mengusulkan sebuah alternatif
penyelesaian. Usulan ini dimuat dalam "Revised Draft Provisions For
The Protections Of Traditional Cultural Expressions/ Expressions Of
Folklore".
seperti: Batik Adidas, Sambal Balido, Tempe, Lakon Ilagaligo, Ukiran
Jepara, Kopi Toraja, Kopi Aceh, Reog Ponorogo, Lagu Rasa Sayang
Sayange, dan lain sebagainya. Fenomena ini tidak hanya terjadi di
Indonesia, ia juga terdapat di banyak Negara berkembang lainnya. Untuk
itu, WIPO (World Intellectual Property Organization) , lembaga
Intellectual Property internasional, mengusulkan sebuah alternatif
penyelesaian. Usulan ini dimuat dalam "Revised Draft Provisions For
The Protections Of Traditional Cultural Expressions/ Expressions Of
Folklore".
Inti dari usul tersebut adalah menyerahkan kepemilikan atas ekspresi
budaya tradisional kepada Kustodian atau komunitas. Ini dapat dilihat
pada pasal 2 dan pasal 4 pada draft tersebut. Ekspresi budaya
tradisional "X" yang dipelihara dan dikembangkan oleh komunitas "Y"
akan menjadi milik komunitas "Y". Misalnya komunitas batik dari
Surakarta yang memelihara dan mengembangkan desain parang maka motif
tersebut akan menjadi milik komunitas tersebut.
Namun dari hasil kajian yang dilakukan oleh Indonesian Archipelago
Culture Initiatives atau IACI (www.budaya- indonesia. org), konsep ini
membawa ancaman terhadap integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Yang pertama adalah masalah horizontal. Ia akan memicu konflik antar
wilayah maupun antar komunitas dalam satu daerah. Orang Sunda tidak
dapat berkreasi secara bebas mengembangkan Batik Jawa. Orang Jawa
harus meminta lisensi ke orang Batak untuk dapat mengembangkan ulos.
Orang Papua tidak merasa memiliki songket dari Palembang, demikian
seterusnya. Lalu dimanakah posisi persatuan dan kesatuan Indonesia?
Selain mengikis rasa persatuan, konsep ini juga berpotensi konflik
antar wilayah. Ada banyak artefak budaya Indonesia yang terdapat di
lebih dari satu wilayah atau suku tertentu. Misalnya, ada sebuah motif
ukiran tertentu terdapat di dua wilayah atau suku yang berbeda. Lalu
komunitas yang mana berhak untuk memilikinya? Akibatnya akan terjadi
konflik antar wilayah atau antar suku. Pemekaran wilayah, yang hanya
melibatkan dimensi pembagian administrasi pemeritahan saja, terbukti
dapat menyebabkan jatuhnya korban. Apalagi jika ditambah dengan
persoalan pembagian budaya tradisi. Setiap wilayah atau suku akan
bertempur untuk mempertahankan warisan nenek moyaknya, yang merupakan
"harga diri" komunitasnya.
Konflik yang mungkin muncul tidak hanya terjadi antar komunitas. Ia
juga bisa terjadi di dalam komunitas itu sendiri. Dari sekian banyak
komunitas Angklung di Bandung misalnya, siapakah yang berhak memiliki
angklung? Siapa yang berhak memberikan izin lisensi angklung ke pihak
lain, pimpinan komunitas tersebut atau rapat anggota? Posisi pimpinan
komunitas budaya, yang pada awalnya hanya memperhatikan faktor
kebijaksanaan semata, menjadi terpolitisir (akibat adanya faktor
kekuasaan dan ekonomi di dalamnya). Konsep ini beresiko melahirkan
konflik dan perpecahan pada komunitas-komunitas budaya di Indonesia.
Yang kedua adalah masalah vertikal. Konsep yang dibuat oleh WIPO akan
mempermudah upaya eksploitasi budaya Indonesia oleh pihak asing.
Sebuah perusahaan desain kaliber internasional hanya perlu datang
membeli lisensi ke sebuah komunitas budaya lokal tertentu. Negosiasi
tersebut tentu saja tidak seimbang. Adidas mungkin hanya perlu
mengeluarkan beberapa juta rupiah untuk membeli sebuah desain batik
tertentu, lalu mengkomodifikasi sedemikian rupa dan mendapatkan
miliaran dolar dari desain tersebut.
Jika terjadi sengketa sengketa hukum, kemampuan untuk melakukan
pembelaan tentu saja tidak akan seimbang. Apakah semua komunitas
budaya di Indonesia mampu membayar pengacara untuk menuntut sebuah
perusahaan raksasa asing dalam pengadilan di luar negeri? Selain
semakin mudah untuk dieksploitasi, kemampuan kita untuk melakukan
pembelaan juga semakin melemah.
Dari ulasan di atas, kita dapat melihat bahwa konsep yang diusulkan
oleh WIPO berpotensi untuk mengancam integritas Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Ia memicu konflik antar warga Negara Indonesia.
Selain itu, ia akan mempercepat proses eksploitasi budaya Indonesia
oleh pihak asing. Untuk itu kita perlu waspada. Apakah konsep yang
dibawa oleh WIPO merupakan bagian dari skenario global untuk memecah
Indonesia?
Untuk melindungi budaya Indonesia, kita membutuhkan sebuah terobosan
baru. Hal ini dapat kita teladani dari kisah perjuangan Djuanda
Kartawidjaja di Zona Ekonomi Esklusif (ZEE). Indonesia harus berani
melawan dan membuat sebuah terobosan baru. Inspirasi inilah yang
melatarbelakangi lahirnya konsep Nusantara Cultural Heritage State
License atau disingkat NCHSL (http://budaya- indonesia. org/iaci/ NCHSL),
sebagai sebuah alternatif konsep perlindungan budaya Indonesia yang
diinisiasi oleh Indonesian Archipelago Culture Initiatives.
Kita harus waspada terhadap konsep yang diusulkan oleh pihak asing.
Bisa jadi, ia merupakan sebuah skenario global untuk menghancurkan
Indonesia. Jangan sampai pemerintah dan DPR meratifikasi konsep yang
dibawa oleh WIPO tersebut. Kita harus mencegahnya.
harus mampu menjadi teladan dalam upaya perlindungan hukum terhadap
ekspresi budaya tradisional. Untuk itu, saya mengajak rekan-rekan
sebangsa dan setanah air untuk bersama-sama menyempurnakan dan
memperjuangkan konsep NCHSL. Rekan-rekan sebangsa dan setanah air yang
memiliki kepedulian (baik bantuan ide, tenaga maupun donasi) dapat
menggubungi IACI di email: office@budaya- indonesia. org
Mari kita bersama-sama bersatu dan menjadi bagian dari upaya
pelestarian budaya Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar